Tari Bedhaya Ketawang

Tari Bedhaya Ketawang – rasanya tidak akan ada habisnya jika membicarakan berbagai keanekaragaman kebudayaan yang ada di Indonesia. Mulai dari rumah adat, pakaian adat, hingga kesenian tradisionalnya.

Salah satu kesenian tari tradisional yang akan saya bagikan informasinya untuk Anda adalah tari bedhaya ketawang. Tarian ini merupakan jenis tarian tradisional kebesaran ketika penobatan dan peringatan kenaikan tahta raja di Kasunanan Surakarta, Jawa Tengah.

Sudah penasaran belum apa saja informasi yang akan saya bagikan seputar tarian ini? Yuk langsung saja sob kita masuk ke pembahasan utama kita.

Pengertian Tari Bedhaya Ketawang

Tari bedhaya ketawang adalah jenis tarian tradisional yang berasal dari daerah Surakarta, Jawa Tengah. Seperti yang telah sedikit saya jelaskan diatas, bahwa tarian ini termasuk tarian kebesaran yang hanya dipentaskan ketika penobatan serta peringatan kenaikan tahta raja di Kasunanan Surakarta.

Nama tarian ini diambil dari dua suku kata, yakni “bedhaya” yang memiliki arti penari wanita, dan “ketawang” memiliki arti langit yang sangat identik oleh sesuatu yang tinggi keagungan dan kehormatannya.

Sejarah Tari Bedhaya Ketawang

Berdasarkan catatan sejarah yang beredar, tarian ini muncul pada saat pemerinatahan Kesultanan Mataram sekitar tahun 1613-1645. Pada saat Sultan Agung melakukan sebuah ritual semedi lalu beliau seperti mendengar suara irama dari arah langit.

Kemudian Sultan Agung pun tertarik dengan suara irama tersebut, serta langsung memanggil para pengawal istana dan menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Atas adanya kejadian tersebut, Sultan Agung membuat tarian yang dinamakan bedhaya ketawang.

Namun, setelah adanya sebuah Perjanjian Giyanti (traktat oleh VOC dengan pihak Kesultanan Mataram yang diwakili oleh Sultan Pakubuwana III dan kelompok Pangeran Mangkubuwono) di tahun 1755. Bukan hanya pembagian wilayah saja, di dalam perjanjian tersebut ada pembagian warisan budaya.

Akhirnya, tarian ini hanya digunakan pada Kesultanan Solo (Surakarta) serta selama kemajuannya, tarian ini tetap dipentaskan saat penobatan dan upacara memorandum kejayaan tahta Kasunanan Solo.

Filosofi Dan Makna Tari Bedhaya Ketawang

Menurut pendapat dari KGPH Panembahan Hadiwijaya Maharsitama, tarian ini mengandung filosofi dan makna sebagai berikut:

  • Adat Upacara

Tarian ini mempunyai kedudukan bukan hanya sebagai produk budaya untuk hiburan semata saja. Hal ini disebabkan kedudukannya sebagai sebuah tarian pusaka yang hanya ditampilkan pada waktu-waktu khusus.

Pada saat tarian sedang berlangsung, tidak diperbolehkan mengeluarkan hidangan, merokok, dan lain-lain. Suasana diharuskan hening dan para tamu undangan tidak diperbolehkan berbicara.

  • Sakral

Menurut kepercayaan masyarakat lingkungan keraton, Nyai Roro Kidul (Ratu laut selatan) hadir saat tarian ini ditampilkan. Tidak semua orang dapat melihat kehadirannya, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihat wujud dari Nyai Roro Kidul.

Konon kabarnya ketika para pemain sedang berlatih, Ratu Kidul juga ikut serta mengawasi dan bahkan membetulkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh si penari.

  • Religius

Dalam sisi religiusnya, tarian ini diiringi oleh Gendhing Ketawang yang salah satu bait nya berbunyi “tanu astra kadya agni urube, kantar-kantar kyai, yen mati ngendi surupe, kyai?” Akhir dari bait tersebut kurang lebih memiliki arti “kalau meninggal, kemana tujuan nya, kyai?”

Hal itulah yang menjadikan pengingat bahwa setiap manusia akan mengalami yang namanya kematian. Maka diharuskan bagi siapapun untuk berbuat baik dan berbakti kepada Tuhannya.

  • Asmara atau Percintaan

Tarian ini menggambarkan curahan cinta asmara Nyai Roro Kidul terhadap Panembahan Senapati. Semunya tergambarkan dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh penari, cara memegang sondher, dan lain-lain.

Segala bentuk penggambaran tersebut telah dibuat sedemikian halusnya, sehingga membuat mata orang awam yang memandang susah untuk memahaminya. Ada satu hal yang dapat dibaca oleh mata orang awam adalah busana pengantin dan semua penari dirias seperti layaknya seorang mempelai perempuan.

Penari Tari Bedhaya Ketawang

Tari bedhaya ketawang biasanya dibawakan oleh penari berjumlah sembilan orang. Di dalam mitologi Jawa mewakili sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa dan disebut sebagai Nawasangsa.

Disisi lainnya disebutkan bahwa jumlah penari tersebut melambangkan kesembilan Wali tanah Jawa atau Walisongo.

Sebagai jenis tarian yang sakral, tarian ini juga menuntut beberapa syarat yang harus dimiliki oleh setiap penarinya. Salah satu syarat utamanya adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid.

Jika penarinya sedang haid, maka penari tersebut tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus meminta izin kepada Nyai Roro Kidul. Izin tersebut dilakukan dengan caos dhahar di Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta.

Syarat selanjutnya yang harus dipenuhi adalah suci secara batiniah. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara berpuasa beberapa hari sebelum tarian dipentaskan.

Dalam tarian ini, kesucian para penari benar-benar diperhatikan. Karena konon kabarnya, Nyai Roro Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.

Adapun untuk kesembilan penari pada tarian ini juga memiliki julukan atau nama. Dimana pada setiap namanya mempunyai pemaknaan tersendiri, antara lain:

  • Batak (simbol pikiran dan jiwa)
  • Endhel Ajeg (keinginan hati atau nafsu).
  • Endhel Weton (tungkai kanan).
  • Apit Ngarep (lengan kanan).
  • Apit Mburi (lengan kiri).
  • Apit Meneg (tungkai kiri)
  • Gulu (badan).
  • Dhada (badan).
  • Boncit yang memiliki lambang organ seksual yang juga dipresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang yang berupa simbol tawang atau langit.

Iringan Tari Bedhaya Ketawang

Pada saat pementasan tari bedhaya ketawang ini akan diiringi oleh seperangkat gamelan khusus yang disebut “Kyai Kadus Manis” dan “Kyai Manis Renggo”.

Perpaduan intrumen gamelan yang dimainkan berupa Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang Ageng, Kendang Ketipung dan Gong Ageng. Instrumen-instrumen ini selain dianggap khusus, juga ada yang memiliki nama keramat.

Alat-alat musik tersebut juga memiliki nama-nama yang unik, seperti:

  • Dua buah kendang ageng bernama Kanjeng Kyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar.
  • Dua buah rebab bernama kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng Kyai Lipur.
  • Sebuah Gong Ageng memiliki nama Kanjeng Nyai Kemitir.

Gending pengiringnya adalah Gending Ketawang Gedhe bernama Pelog.

Busana Tari Bedhaya Ketawang

Dalam hal tata busana, para penari biasanya menggunakan Dodot Ageng atau Basahan yang didominasi dengan warna hijau. Pakaian tersebut dapat  jumpai dengan mudah pada pengantin Jawa.

Para penari juga akan diberi tambahan hiasan dengan berbagai aksesoris seperti Centhung, Garudha Mungkur, Sisir Jeram Saajar dan Cundhuk Mentul. Ditambahkan juga Tiba Dadha atau rangkaian bunga melati pada gelungan yang memanjang hingga bagian dada kanan.

Ada juga aksesoris tambahan yang digunakan para penari bernama Gelung Bokor Mengkurep yang ukurannya lebih besar daripada gelungan gaya Yogyakarta.

Pementasan Tari Bedhaya Ketawang

Pada awal mulanya, pertunjukan tarian ini berdurasi hingga dua setengah jam. Sedangkan untuk panjang durasi tersebut berangsur-angsur berkurang sejak zaman Sri Susuhunan Pakubuwana X hingga akhirnya berdurasi hanya setengah jam dengan dibagi menjadi tiga adegan (babak).

Di saat pementasan sudah memasuki tengah-tengah waktu, laras (nada) gending berganti menjadi nada slendro selama dua kali. Kemudian nada gendung akan kembali lagi ke laras pelog hingga tarian berakhir.  Di bagian pertama tarian akan diiringi dengan Tembang Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya.

Ketika mengiringi jalannya pementasan. para penari masuk kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa, alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan rebab, gender, gambang, dan suling. Semua hal tersebut dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.

Kesimpulan

Nah, mungkin hanya itu saja informasi yang dapat saya berikan tentang tarian tradisional yang bersifat sakral, yakni tari bedhaya ketawang yang berasal dari Kesunanan Surakarta.

Semoga dengan sedikit informasi ini dapat membantu dan menambah pengetahuan kalian semua. Cukup sekian dan salam dari penulis.

Killua Ibrahim
Killua Ibrahim

“Untuk menjadi seorang yang ahli, kau harus belajar lebih.”